Friday, January 23, 2009

Arti sebuah kedewasaan

Arti Sebuah kedewasaan

Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan...
Seseorang dikatakan dewasa bukan karena dia telah mencapai umur
tertentu. Terkadang, ada orang yang umurnya sudah tua tapi ada yang
mengatakan perilakunya masih kekanak-kanakan. Ada juga, seseorang
yang tergolong masih muda, tapi ada juga yang mengatakan dia itu
seorang yang dewasa. Fenomena keseharian ini memperlihatkan bahwa
umur tidak memberikan jaminan seseorang itu mampu mencapai
kedewasaan. Lantas, kedewasaan itu apa sih..?.

Kedewasaan itu sangat terkait dengan urusan mentalitas (psikologis).
Cara yang paling mudah untuk mengukur kedewasaan adalah ketika
seseorang itu dihadapkan kepada permasalahan-permasalahan yang ada.
Nanti, saya akan memaparkan sebuah kisah kehidupan seseorang yang
begitu tegar menghadapi masalah. Kisah itu, bagi saya sangat
mengharukan, saya sempat menitikkan air mata mengetahui cerita itu.
Entah, saya barangkali tak sanggup bertahan ketika menghadapi
masalah yang sama seperti yang dialami seseorang itu. Dari kisahnya,
saya hanya ingin mengajak untuk mencoba jujur terhadap diri kita
masing-masing. Apakah kita sudah dewasa ataukah belum..? Mengenai
cerita itu, sabar ya, tunggu saja nanti !

Kita lanjutkan dulu uraian tentang topik "masalah". Dalam mengarungi
samudera kehidupan ini, kita pasti dihadapkan kepada sebuah masalah.
Itulah dinamika yang membuat hidup menjadi bermakna. Rasa-rasanya,
hidup ini akan terasa gersang jika tak ada dinamika kehidupan, hidup
hanya monoton, tak ada pernak-perniknya, sungguh, hidup ini tak
terasa indah. Tapi, permasalahannya kemudian, sejauhmana kita bisa
memandang sebuah masalah dengan cara pandang yang berbeda, sebuah
cara pandang menggunakan kejernihan berpikir kita. Kita semua tahu,
permasalahan akan senantiasa ada, yang terpenting adalah bagaimana
kita bersikap ketika menghadapi masalah tersebut. Disinilah sebuah
kedewasaan akan terlihat.

Akankah kita hanya sekedar mengeluh mensikapi masalah yang kita
hadapi, menyalahkan orang lain sebagai biang masalah dan bahkan
menganggap Allah SWT tidak adil karena menimpakan masalah yang
barangkali terlalu berat, atau kita akan bersikap sebaliknya. Kita
mensikapi sebuah masalah dengan tenang, tidak emosional lantas pelan-
pelan memikirkan jalan keluar yang tepat. Bagaimana menurutmu, kira-
kira akan memilih yang mana...?

Baik, sambil merenung, saya akan memenuhi janji.



Seperti yang saya janjikan diawal tadi, saya akan bercerita tentang
sebuah kisah nyata. Kisah ini pernah saya baca di dalam sebuah
majalah Islam. Sudah cukup lama saya membacanya, sampai-sampai
majalah itu entah kemana. Tapi, memori saya masih terus mengingat
kisah itu. Kisahnya adalah tentang seorang pemuda yang sederhana,
dia seorang mahasiswa. Suatu ketika, dia sedang kekurangan uang.
Dia pernah tidak makan nasi selama 24 hari karena uangnya tidak
cukup untuk membeli nya. Barangkali ada yang bertanya, bagaimana dia
bisa bertahan hidup...?.

Setiap hari, dia hanya menganggarkan uang seribu rupiah untuk bisa
menganjal perutnya dari rasa lapar. Setiap pagi, dia membeli
sepotong roti seharga limaratus rupiah untuk bisa bertahan dari rasa
lapar di siang harinya. Begitu juga, ketika sore tiba, dia melakukan
hal yang sama, membeli lagi sepotong roti seharga lima ratus rupiah
untuk bisa bertahan dari rasa laparnya sampai esok pagi tiba.
Begitu seterusnya, sampai 24 hari lamanya. Sungguh, kisah ini sangat
mengharukan. Saya sempat menitikkan ari mata ketika membacanya. Luar
biasa, dia tak mengeluh dengan keadaan yang menimpa dirinya.

Dia tak mau meminjam uang karena dia tak mau merepotkan temannya.
Justru, dengan keadaan seperti itu, tak menyurutkan langkahnya untuk
bisa berprestasi. Itu terbukti ketika dia terpilih menjadi salah
satu remaja berprestasi versi salah satu majalah Islam di negeri
ini. Dan, kisahnya ini diungkapkan dalam sebuah wawancara dengan
majalah Islam itu.

Ada satu lagi cerita menarik darinya. Ketika akan diundang dalam
acara penganugerahan hadiah, terpaksa dia meminjam baju salah
seorang temannya karena memang dia benar-benar tidak mempunyai baju
yang layak untuk menghadiri sebuah acara yang boleh dibilang resmi.
Subhanallah.

Cerita ini bisa menjadi renungan bagi kita. Terkadang, kita terlalu
banyak mengeluh atas keadaan yang kita alami, sementara kalau kita
menghitung nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, sungguh, tak
akan bisa terhitung banyaknya. Tapi, biasanya, kita terus merasa
kurang dan kurang. Seolah kita lupa atas segala nikmat yang telah
Allah berikan kepada kita. Laki-laki sederhana itu bisa kita jadikan
contoh, bagaimana dia senantiasa tersenyum walau dalam keadaan yang
sederhana, bahkan boleh dibilang kekurangan. Baginya, keadaan yang
seperti itu tak terlalu menjadi masalah.

Setidaknya, dia tidak menganggap kebahagiaan semata-mata karena
banyaknya harta yang dimiliki. Lelaki itu, semoga menjadi pelajaran
kita dan kelak, semoga Allah memasukannya kedalam surgaNya. Darinya,
kita bisa mengambil pelajaran, bahwa kedewasaan itu adalah,
bagaimana kita bisa mengatasi permasalahan dengan bijaksana.
Sekarang, mari sama-sama kita jujur pada diri kita sendiri,

Sudah dewasakah kita...?.

0 comments:

Post a Comment